Mudik bukanlah sekadar tradisi tahunan. Ada nilai penting mengapa saya (kita) harus mudik. Hal ini yang menggerakkan saya selama ini untuk tetap mudik dalam berbagai kondisi.
Perjalanan mudik bagi sebagian orang tidaklah mudah. Butuh persiapan materi, fisik, dan mental. Ketika merantau ke Sulawesi, saya harus menyisihkan budget tahunan untuk tiket pesawat saat Lebaran. Harga tiketnya bisa naik 2 kali lipat dari harga normal. Saat itu saya masih sendiri sehingga uang THR cukup menutupi biaya tiket mudik. Berbeda dengan teman saya yang telah berkeluarga dan memiliki 2 orang anak. Ia tidak bisa setiap tahun mudik ke Medan. Tiket pesawat Palu-Medan PP di musim liburan bisa mencapai 6juta per orang. Terbayang ia harus menyiapkan 24juta untuk tiket saja. Belum oleh-oleh, angpao, dan kebutuhan selama liburan. Ia benar-benar berhitung sebelum memutuskan mudik.
Bagi perantau yang jauh dari kampung halaman, menempuh perjalanan jauh perlu persiapan fisik. Apalagi yang perjalanan mudiknya menggunakan jalur darat rawan menghadapi kemacetan. Atau pengguna kapal yang butuh waktu berhari-hari hingga sampai ke pelabuhan tujuan. Tubuh harus fit supaya saat sampai di kampung halaman dapat silaturahim dengan baik. Jangan sampai badan ngedrop di saat merayakan Hari Kemenangan.
Masalah kesiapan fisik ini telah saya bahas di artikel berikut ini dengan titik tekan pada ibu hamil, menyusui, serta anak-anak yang butuh persiapan khusus.
Tips Mudik untuk Ibu Hamil, Menyusui, dan Anak-Anak
Tips Mudik Naik Pesawat Bersama Balita
Mental tak kalah penting disiapkan sebelum mudik. Perantau meninggalkan rumah dengan maksud mencari kehidupan yang lebih baik di kota. Namun terkadang harapan belum sesuai kenyataan. Persaingan di kota membutuhkan orang yang terampil, terdidik, bermental kuat, dan bekerja keras. Tidak semua perantau memiliki hal tersebut. Sebagian tergerus dan menjadi luntang-lantung di kota orang, malu untuk pulang. Memang butuh hati yang besar dan ikhlas untuk mengakui kekalahan.
Ketika mudik dan berkumpul dengan keluarga akan ada berbagai pertanyaan seperti: Sekarang kerja di mana? Bagian apa? Kapan menikah? Sudah punya calon? Dan lain sebagainya. Dua pertanyaan pertama mudah saya jawab ketika saya menjadi pegawai kantoran di sebuah perusahaan yang namanya familiar. Namun setelah resign, pandangan sebagian keluarga menjadi berbeda ketika saya menjawab sekarang menjadi ibu rumah tangga (saja). Di sinilah pentingnya menyiapkan mental supaya tetap bangga dengan profesi baru saya. Begitu pun dengan perantau yang kurang berhasil di tanah orang. Mungkin ia diarahkan oleh Allah untuk mengembangkan usaha di kampung halamannya sendiri.
Above all, alasan paling penting mengapa saya (kita) harus mudik karena orang tua yang menunggu di rumah. Orang tua butuh kehadiran anaknya, bukan hanya kiriman materi. Rasanya kekhawatiran orang tua tak akan terobati bila hanya melihat lewat video call atau diwakili oleh amplop jutaan rupiah (entah dari hasil tabungan atau berhutang).
Pengalaman saya menjadi orang tua masihlah seujung kuku namun saya melihat kebutuhan anak untuk ditemani orang tua begitu tinggi. Anak lebih bahagia ketika ayah dan ibunya membersamai aktvitias anak. Bukan hanya bermain dengan anak tetapi bermain bersama anak secara fisik dan pikiran. Ketika sudah besar, giliran anak lah yang menemani orang tua. Jika tak bisa setiap hari bertatap muka, setidaknya mudik menjadi momen yang tepat untuk membalas kasih sayang orang tua (yang tak akan pernah bisa terbalas dengan setimpal).
"Maaf ibu
Sering tidak pulang
Sedang sibuk selalu jadi alasan"
Kutipan lagu Maaf Ibu yang dinyanyikan Andien dan Anggun mewakili hati nurani saya. Selagi masih ada orang tua dan keluarga, selagi punya kampung halaman, mudiklah.
Selamat mudik bagi yang merayakan. Salam hangat untuk keluarga.
No comments:
Post a Comment